Sabtu, 15 September 2007

Akibat Ulah Sindikat

MUNGKIN ini gara-gara kualat. Setelah lama nasib para tenaga kerja Indonesia (TKI) di negeri seberang terdengar memilukan, kini nasib serupa juga dialami sejumlah perusahaan jasa TKI (PJTKI) di Tanah Air. Sekitar 70%—dari sekitar 457—PJTKI dikabarkan terancam gulung tikar. Gara-garanya, banyak penempatan TKI ilegal ke luar negeri dilakukan oleh PJTKI yang ilegal pula.


Yunus Mohammad Yamani, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki), pekan silam, menuturkan, gara-gara ulah PJTKI liar itu, banyak PJTKI resmi yang bermodal pas-pasan terpaksa harus numpang bendera kepada PJTKI lain. Dengan begitu, usahanya bisa tetap berjalan. PJTKI gurem itu tetap mencari calon TKI—namun TKI tersebut direkatkan lewat bendera PJTKI lain yang lebih bonafide.


Menurut Yunus, berbisnis PJTKI resmi sekarang jadi terasa kurang menguntungkan. Soalnya, kiprah PJTKI gelap sungguh amat hebat. PJTKI gelap itu tidak membayar banyak kewajiban Makanya, biaya operasional mereka jadi lebih kecil. Beban kepada calon TKI pun dapat terpangkas. Tarif yang mereka kenakan kepada calon majikan juga lebih murah. Makanya, PJTKI resmi kelabakan. ”Penempatan TKI secara ilegal ke sejumlah negara sudah menjadi pengetahuan umum,” kata Yunus.


Sejatinya, bisnis pengiriman TKI memang sangat menggiurkan. Lazimnya, PJTKI akan mengutip uang jutaan perak dari para calon TKI yang kepincut bekerja di luar negeri. Setiap tenaga kerja yang akan dikirimkan melalui PJTKI resmi biasanya harus mengeluarkan uang berkisar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per orang.


Tapi, biaya pengiriman secara ilegal hanya sekitar Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Perbedaan biaya tersebut mendorong para calon pekerja yang mempunyai keterbatasan dana mengambil risiko pengiriman secara ilegal. Jadilah praktik pengiriman TKI ilegal semakin subur. Husein Alaydrus, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati), menghitung, setiap bulan PJTKI liar bisa mengirim TKI berkisar antara 8.000 hingga 10.000 orang ke kawasan Asia dan Timur Tengah. Sementara itu, PJTKI resmi bisa mengirim sekitar 30.000 orang per bulan ke 16 negara.


Pendapat Husein diamini oleh Wahyu Susilo, Policy Analyst Migrant Care. Menurut Wahyu, kebanyakan TKI ilegal dikirim ke Malaysia dan Arab Saudi. Dari total TKI di Malaysia yang sebanyak 2,5 juta orang, sekitar 1,2 juta-nya adalah TKI ilegal. Lalu, dari 1,5 juta TKI yang ada di Arab Saudi, 300 ribu di antaranya adalah pekerja gelap.


Husein menegaskan bahwa PJTKI resmi banyak yang menanggung dampak adanya PJTKI gelap tadi. ”Jika terjadi masalah dengan TKI ilegal, pasti itu dikaitkan dengan PJTKI legal,” ujarnya. Selain itu, negara juga berpotensi mengalami kerugian. Sebab, negara tidak bisa memungut uang apa pun dari PJTKI haram itu tadi.


Yunus Mohammad menduga, munculnya fenomena PJTKI gelap itu dipicu oleh kesalahan sistem yang diterapkan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (Depnakertrans). Depnakertrans hanya memberlakukan sistem legitimasi perjanjian kerja (PK) oleh Kedutaan Besar RI (KBRI) yang ada di Arab Saudi. Di negara lain, sistem itu belum diberlakukan. ”Celah inilah yang memberi peluang kepada sejumlah oknum tertentu untuk menempatkan TKI secara ilegal,” tambah Yunus.


Maraknya pengiriman TKI ilegal ke sejumlah negara itu memang bukan sekadar isapan jempol. Juli lalu, misalnya, tim Satgas Trafficking Mabes Polri berhasil menciduk lima sindikat pengiriman TKI ilegal ke Suriah. Tadinya, ada 18 calon TKI yang akan diberangkatkan ke negara di Timur Tengah tersebut. Para calon TKI itu diiming-imingi bekerja menjadi pembantu rumah tangga, sopir, dan pengasuh bayi. Padahal, pemerintah telah menjadikan Suriah sebagai negara ”terlarang” bagi pengiriman TKI.
Bukan apa-apa, standar gaji di negeri teluk yang satu ini sangat kecil. Lagi pula, tidak ada kerja sama antara Pemerintah RI dan Suriah soal penempatan TKI ini. Terus, Suriah juga rawan konflik karena letaknya dekat dengan Irak.


Tapi, nyatanya jumlah pekerja ilegal di Suriah saat ini telah mencapai 45 ribu orang. ”Semuanya ilegal,” ujar Jumhur Hidayat, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Jumhur berkisah, para TKI ilegal itu masuk dari sejumlah negara tetangga Suriah seperti Yordania.


Selain Suriah, masih banyak lagi negara yang dihuni TKI ilegal. Bahkan, dalam waktu dekat, ada sekitar 40 ribu TKI di Arab Saudi dan 800 ribu di Malaysia yang terancam dideportasi lantaran tak memiliki dokumen resmi—seperti visa dan paspor—atau melampaui masa izin tinggal (overstay).


PJTKI RESMI JUGA TERLIBAT


Tapi, apa benar TKI gelap itu selalu dikirim oleh PJTKI haram? Wahyu Susilo tak percaya. Ia mengaku curiga, ada PJTKI resmi yang terlibat perdagangan manusia lewat pengiriman TKI ilegal. Jadi, ada sebuah PJTKI bisa melakukan dua modus sekaligus: resmi dan tidak. Ada TKI yang marak dikirim secara legal dan ada yang gelap-gelapan.
Wahyu bilang, asosiasi PJTKI terkesan membiarkan bahkan melindungi anggotanya yang berkelakuan nakal. Pernah, katanya, Migrant Care melaporkan PJTKI yang memperlakukan TKI dengan tidak manusiawi. ”Tapi, tanggapan asosiasi malah membela anggotanya,” katanya.


Sudah begitu, Wahyu juga tak pernah melihat ada asosiasi yang mau berbuat tegas terhadap anggotanya. Itu sebabnya, Wahyu menyarankan agar asosiasi PJTKI membentuk suatu majelis kode etik. Tujuannya, jika ada anggotanya yang bermasalah, lembaga ini bisa memberikan sanksi kepada PJTKI tersebut.


Lalu, apa saja langkah yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi TKI ilegal? Irianto Simbolon, Kepala Humas Depnakertrans, menerangkan, untuk mengatasi TKI ilegal, pemerintah telah melakukan penyuluhan secara berkala kepada masyarakat, khususnya di pedesaan. Peningkatan kualitas keahlian dan keterampilan calon TKI juga dilakukan. Begitu juga dengan penggalangan kerja sama yang lebih baik dengan negara–negara tempat pengiriman TKI.


Kelak, Irianto juga menjanjikan, pemerintah akan memperbaharui kesepakatan kerja sama (MoU) dengan negara tujuan TKI. Yang lebih penting lagi, pemerintah juga akan terus melakukan perlindungan kepada TKI dengan asuransi TKI.


Program pemerintah memang amat mulia. Tapi, pelaksanaannya seolah jauh panggang dari api. Tengok saja, kendati telah dibentuk BNP2TKI—yang menggantikan fungsi Ditjen Penempatan TKI di luar negeri—masih saja tidak jelas soal pemegang kewenangan penempatan TKI. BNP2TKI dan Depnakertrans sama-sama merasa paling memiliki hak.


Tak ayal, nasib TKI kita—yang kebanyakan tenaga kerja rendahan—semakin dibikin tak menentu. Padahal—berbeda dengan para pejabat yang lebih suka menghabiskan duit rakyat—mereka sudah amat berjasa dalam menyumbang devisa kepada negara.


Berdasarkan data BNP2TKI, pada 2006, remiten (uang kiriman) yang dikirim TKI mencapai US$ 3,40 miliar. Jumlah itu meningkat dibandingkan 2005 yang ”hanya” US$ 2,7 miliar. Kebanyakan remiten itu berasal dari TKI yang bekerja di sektor-sektor informal, seperti buruh dan pembantu rumah tangga. Merujuk data Depnakertrans, jumlahnya mencapai 70,95%. Sisa devisa lainnya datang dari TKI oyang bekerja di sektor formal. Tuh, banyak bukan…


http://www.majalahtrust.com/ekonomi/sektor_riil/1429.php

Tidak ada komentar: